Balada Si Roy 8 - Episode 7 Kapal IV. LOSARI Kita sedang hidup dalam pagi dari suatu zaman dan dalam kabut dari waktu sebelum fajar, di mana manusia berjalan kebingungan dan melihat pandangan-pandangan asing. Tetapi kabut itu akan cair di bawah sinar sang surya yang telah menciptakannya. Dan dunia akan tampak jadi lebih kokoh dan indah kembali. Ernest Hemingway *** Sebuah kapal bergerak lambat menuju dermaga. Klaksonnya memecah keramaian para penjemput yang menyemut. Di altar belakang adalah langit barat yang berwarna senja. Mirip sebuah lukisan abadi sepanjang zaman. Ini dermaga Makasar . Para penumpang sudah antre dan berdesakan di pintu. Itulah budaya negara berkembang, tak pernah mau sabar. Seperti ada rasa takut tidak akan pernah sampai di rumah. Selalu ingin memperoleh kesempatan pertama. "Ada waktu empat jam kalau pengin jalan-jalan di Makasar," Aisah memberitahu. "Kamu mau bawa aku putar-putar?" "Ikut ke rumah, ya!" katanya meminta persetujuan Arini, adiknya, yang asyik bercengkerama dengan Jarnal. Mungkin mereka sedang merencanakan sesuatu setelah di daratan nanti. "Nggak usah kuatir bakal ketinggalan kapal, deh!" Orang-orang sudah mengalir menuju pintu keluar, seperti arus air yang ditumpahkan dari bejana ke tanah. Mereka terseret dan tumpah ke daratan. Ada yang memang pulang ke rumah setelah lama di rantau, tapi ada yang cuma sekadar singgah menikmati kota angin mamiri malam-malam. Tapi hampir seluruh penumpang yang tinggal memilih diam di kapal, karena takut ketinggalan kapal. Rasanya empat jam untuk menikmati sebuah kota tidaklah cukup, begitu pikir mereka. Padahal untuk sekadar dikenang, rasanya cuma menginjakkan kaki atau menghirup udaranya saja untuk permulaan sudah cukup. "Apa ada waktu melihat senja di Losari?" teriak Roy, berusaha untuk tidak tercecer dari arus manusia. "Bersama kamu, tentunya, Aisah!" Aisah tersenyum menatapnya. "Kayaknya senjanya sudah ngilang, ya!" "Mampir ke rumah dulu, deh!" kata Aisah. "Cuma ada waktu tiga jam, lho!" "Jangan kuatir!" Aisah menarik lengan Roy. Jamal dan Arini tertawa di belakang mereka. Aisah sebetulnya tidak habis pikir kenapa mau menarik dan menuntun Roy. Apalagi kalau ingat kejadian semalam di atas kapal. Ini mungkin di luar kesadarannya atau juga sesuatu yang pernah dialami ketika berusia belasan tahun kembali menyeruak. Entahlah. Yang jelas, semalam dia begitu terlena. Segalanya terjadi begitu saja. Dia menyadari, kalau remaja ingusan ini punya daya pikat luar biasa. Seperti semut hitam yang menemukan makanan, para penumpang beriringan menuju pintu keluar dermaga Soekarno-Hatta, Ujung Pandang. Mereka saling berpelukan dengan kerabat, yang sudah kangen di tempat penjemputan. Pertemuan memang mengharukan dan membahagiakan. Ibarat pertemuan seekor induk ayam dengan anaknya, yang tercecer ketika mencari makan. Seseorang menjemput mereka. "Kalau ada waktu, mampirlah ke rumah, Roy!" Jamal memeluknya. "Hati-hati di Ambon, ya. Jangan ikut campur urusan orang! " "Have a nice trip, Roy!" Mardi tersenyum penuh arti. Jamal menghampiri Ari. Mereka menuju tempat terpisah. Berbincang-bincang. Mungkin merencanakan sesuatu. Rupanya kapal sudah mempertemukan mereka. Kapal seperti sebuah tempat berharga bagi mereka, yang akan jadi sejarah nantinya. "Hey, kapan berangkatnya?" teriak Aisah. Roy sudah duduk di jok depan. Di sebelah pengemudi, yang menjabat lengannya dengan ramah. Sebuah bahasa "Selamat Datang". Bahasa persahabatan tuan rumah kepada setiap tamunya. Ini adalah warisan leluhur. Budaya bangsa. Mobil sedan hitam pun meluncur. Cuma membutuhkan waktu sepuluh menit, mobil pun berhenti di sebuah rumah berpekarangan luas. Pohon-pohon besar melindungi rumah itu dari kesumpekan udara. Betapa sejuknya jika angin berembus. Dedaunan akan bergoyang lembut, mengipasi seisi rumah itu. Seorang anak kecil cantik berlari-lari kecil menyambut kedatangan Aisah. Gadis kecil berkepang dua itu merangkul Aisah dan tertawa gembira ketika tubuhnya diangkat tinggi-tinggi. Mereka saling melepas rindu. Betapa bahagia. "Mama, oleh-oleh buat Ida, mana?" gadis kecil ini merajuk. "Pokoknya anak Mama pasti seneng, deh!" Aisah masih saja menciumi pipi Ida. Gadis kecil itu melirik Roy. Dia berbisik pada Aisah. Roy mengusap rambutnya. Mereka saling pandang dan berusaha untuk saling berbicara akrab. Lalu Aisah menyuruh gadis kecil itu memberi salam. Roy mengulurkan lengannya sambil tersenyum. "Ini kawan Mama." Aisah menggandeng Ida. "Suruh Bibik bikinin es jeruk, sana," katanya. Ida, gadis kecil berkepang dua itu, dengan lincah dan gembira berlari ke dapur. Arini mengejarnya sambil menakut-nakuti. Jika melihat kanak-kanak bermain atau bermimpi, kadang kala sulit untuk memahaminya. Bocah-bocah kecil itu seperti berada di dunia yang serba putih tanpa noda. Mereka kadang berlarian bagai anak tupai, bergulingan, tertawa, dan menangis tanpa merusak dunia mereka yang putih. Dunia kanak-kanak adalah panorama desa yang asri, dengan persawahan, pepohonan, pegunungan, dan langit biru. Roy duduk dengan kikuk dan takjub di ruang tamu. Sebuah rak penuh dengan barang-barang antik dari seluruh pelosok Nusantara. Bahkan beberapa suvenir dari negeri seberang pun terselip. Ada tiga buah lukisan menghiasi dinding. Persis di atas sofa, lukisan laut yang menggelora. Ombaknya bergulung, tapi tidak melupatkan apa-apa. Sebuah laut yang dahsyat, tapi sangat kesepian. Di sudut lain, membelakangi ruang keluarga, lukisan dua ekor kuda putih, yang berkejaran di padang rumput. Langit biru memayungi kedBalada Si Roy 8 - Episode 8 Kapal Kini Roy tertarik pada lukisan terakhir. Di tempel di atas pesawat televisi berlayar lebar. Sebuah lukisan keluarga. Sebuah keluarga yang bahagia. Seorang lelaki berkumis yang gagah, wanita cantik, anak lelaki tampan, dan dua gadis yang lucu. Roy bisa mengenali dua gadis lucu itu. Aisah dan Arini. Ida, gadis kecil yang lucu, itu datang bersama si bibik. Dengan ciang dia menyuguhi air jeruk. Dia duduk di kursi dan menatap Roy penuh perhatian. "Sudah sekolah?" Roy meminum air jeruk itu. Ida mengangguk. "Kelas nol besar," katanya menggemaskan. Roy meletakkan gelas yang langsung kosong. Dia meneliti ruangan lagi. Ida berlari ke dapur membawa gelas kosong itu. Roy cuma tersenyum. Rumah besar ini begitu sepi. Cuma ada seorang supir, si bibik, Aisah, Arini, dan gadis kecil berkepang dua. Ke mana orang-orang yang begitu bahagia di lukisan itu? batin Roy memandang lekat-lekat lukisan di atas pesawat TV itu. "Waktumu tinggal dua jam lagi," Aisah mengagetkan. Ida kini menggelayut manja sambil bemyanyi-nyanyi kecil. Rambut Aisah tampak basah dan wajahnya segar. Kaos putih bermerek dan celana kulot dari bahan denim melindungi lika-liku tubuhnya yang dahsyat dan menggelora. Roy melihat lagi ke lukisan keluarga itu. Aisah menangkap rasa keingintahuannya. Dia memanggil Arini. Memberitahu bahwa dia akan pergi ke Losari beach. Menyuruhnya menjaga Ida sampai kepulangannya nanti. Ida cuma memberengut dan berlari ke dalam kamar, karena dilarang ikut. "Kita makan dulu." Aisah sudah berada di belaikang kemudi. "Mau makan apa? Soto Makasar? Atau American food?" "Apa sajalah." Roy tertawa. Losari beach, sebuah tempat kebanggaan Ujung Pandang. Pedagang kaki lima berjejer di sepanjang trotoar yang memanjang mengikuti garis pantai. Di seberangnya pertokoan berderet menghadap ke laut. Agar air laut tidak menghantam jalan, sebuah tembok tinggi dan berteras dibangun, sehingga orang-orang bisa duduk-duduk menikmati senja di sana. Teras itu dimanfaatkan oleh pedagang kaki lima untuk menggelar tikar. Jadi meja dan bangku sudah tidak dibutuhkan lagi. Praktis dan alami. Pohon-pohon palem berjejer di kedua sisi jalan. Setiap sore, hampir seluruh anak muda memanfaatkan jalur jalan ini untuk cuci mata, jajan, atau menghirup panorama senja. Jika malam Minggu tiba, remaja-remaja puber memanfaatkannya untuk balap motor. Semua kota besar pasti punya satu sudutnya yang menarik dan melegenda. Itu cuma akan meriah jika dihiasi oleh kaum remajanya yang energik dan kreatif. Roy dan Aisah duduk di teras La Boga. Menikmati segelas minuman dan lalu-lalang orang di seberang jalan. Ombak yang lembut berdebur berirama angin pantai dan taburan bintang, merasuki hati mereka dari detik ke detik. "Lukisan tadi adalah masa-masa bahagia kami," Aisah melunasi keingintahuan Roy. "Papa, Mama, dan Abang Burhan," Napasnya terlontar. Matanya menerawang jauh, seperti hendak melihat sesuatu di balik langit, "Apa yang terjadi, Aisah?" "Kadang kala aku sudah tak ingin membicarakannya lagi. Tapi, selalu saja ada kesempatan untuk mengenangnya. Mungkin ratusan kali orang bertanya tentang itu. Walaupun pada mulanya terasa berat, akhirnya aku bercerita juga. "Kenangan manis. Penuh tawa dan bahagia." "Maafkan pertanyaanku tadi." Aisah berusaha tersenyum. "Sudahlah, lupakan saja." "Mereka kecelakaan. Mobilnya masuk jurang, ketika menghindar dari sebuah bis yang muncul tiba-tiba dengan kecepatan tinggi. Semua yang ada di mobil, Abang Burhan, Yati, istrinya, Mama, dan Papa, tewas seketika. Peristiwa yang menyedihkan. "Aku, Arini, bersikeras tak ikut ke Tana Toraja. Kami memilih mengurusi Ida, putri Abang Burhan, yang waktu itu masih berusia satu tahun. Sedang lucu-lucunya." "Aku nggak nyangka kalau saat itu adalah hari terakhir mereka. Tak ada kata perpisahan. Tak ada firasat apa-apa. Semuanya ibarat petir yang menyambar pucuk kelapa. Begitu tiba-tiba. Hangus begitu saja. "Untung aku bisa tahan. Walaupun agak tersendat-sendat, kuliahku rampung juga. Kini akulah yang mengurusi perusahaan warisan Papa." Aisah menarik napas dulu. "Teruskanlah," kata Roy. "Aku yang tadinya bercita-cita jadi diplomat, eh, malah jadi wanita pengusaha. "Wanita di hadapanmu ini ada1ah seorang presiden direktur sebuah perusahaan besar di kota ini Roy." Aisah tersenyum lucu. Roy terbelalak. "Umurku baru dua puluh lima, Roy. Tapi aku merasa jauh lebih tua. Tak punya kawan dekat lelaki, karena aku merasa mereka cuma mengincar kekayaanku." Roy mendengarkan saja. "Malam tadi kamu membuatku jauh lebih muda, Roy. Aku merasa seperti jadi anak SMA lagi. Aku iri padamu, Roy, yang memiliki segala-galanya. Hidup bebas tak terikat apa-apa. Duniamu adalah nyata. Sedangkan aku? Yang ada di benakku cuma angka-angka saja. Kesejahteraan karyawan dan pajak. Tak ada hal lain. "Sudah lama aku tidak melakukan perjalanan seperti ini. Selama ini cuma bisnis melulu. Membosankan dan bikin pening. "Aku jadi tambah mantap untuk menjual seluruh aset perusahaan. Uangnya akan aku sumbangkan ke panti-panti asuhan, pembangunan mesjid, kegiatan sosial, dan sisanya untuk aku, Arini, dan Ida. Terserah mereka mau membelanjakan apa. "Aku cuma mau membeli rumah kecil dengan pekarangan luas di sebuah kota di Jawa. Aku tertarik dengan kota Wonosobo. Aku akan tinggal di sana, mencari pekerjaan dan hidup seperti orang kebanyakan." "Tentunya seorang suami?" pancing Roy. "Buat apa suami, Roy? Aku pernah dikecewakan lelaki. Menyakitkan. Aku sudah nggak peduli dengan persoalan-persoalan yang bakal membebani pikiranku. Bagiku sekarang, hidup untuk dinikmati saja." "Oh, sorry , kamu pasti bosen ngedenger ceritaku, ya. Aku terlalu banyak ngomong ya, Roy." Aisah menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Seperti ada beban yang sudah lepas dari jiwanya. Roy melihat arlojinya. "Sebaiknya kamu kembali ke kapal. Tinggal satu jam lagi." Aisah memanggil pelayan, membayar dan berdiri. ua kuda kasmaran itu. Balada Si Roy 8 - Episode 9 Kapal Roy berjalan di sebelahnya. Dia tidak membuka suara. Cerita Aisah tadi merasuki pikirannya. Ternyata harta tidak menjamin seseorang jadi bahagia. Ada sebagian orang yang terlalu berlimpah hartanya, tapi ada juga sebagian yang tidak punya apa-apa. Hidup memang (sangat) lucu kalau dipikirkan. Padahal Tuhan tidak menentang seseorang jadi kaya, asalkan harta tidak jadi tujuan hidup tapi cuma sekadar alat hidup. "Tampaknya hidupmu tidak bahagia." Roy meliriknya. "Kamu bahagia, Roy? Aku kira bahagia itu relatif. Sukar dimengerti dan tidak akan ketemu walaupun dicari ke ujung dunia. Kebahagian itu muncul jika kita menciptakannya. Ada kemauan untuk mewujudkannya. Begitu yang aku baca di buku-buku." Aisah tertawa kecil. Dia merogoh sakunya. Memberikan selembar ribuan pada tukang parkir tanpa meminta kembalian. Mesin mobil sudah dinyalakan. "Itulah sebabnya kenapa aku berencana akan menjual perusahaan, mendermakan sebagian kekayaanku, dan membeli rumah kecil berpekarangan luas di Wonosobo. Itulah kebahagiaan yang sedang aku ciptakan, Roy!" Roy mengatur letak duduknya. Dia tampak ingin rebah-rebahan. Matanya terpejam. Dia merasa tersindir sekali begitu mendengar kata "bahagia" tadi. Tampaknya Aisah seperti bertanya, "Kamu sedang mencari arti bahagia, Roy?" Jika aku tidak sedang mencari arti bahagia, lantas apa? Losari beach mulai sepi. Lampu-lampu merkuri seperti menari-nari menerangi jalanan yang ibarat teras rumah menghadap halaman Iuas. Betapa damai di sini, Jauh berbeda dengan kehirukpikukkan Malioboro di Yogya, yang seolah-olah tidak pernah berhenti detak jatungnya. Aisah belum menjalankan mobilnya. Roy meraba lengannya. "Ciumlah aku, Roy," Aisah mendekatkan bibirnya, "untuk perpisahan." Ragu-ragu Roy mendekatkan bibirnya. Dia cuma mengecupnya, tapi dadanya berdebar keras. Seperti ada angin ribut. Tak menentu. Dia kini memalingkan wajahnya. Melihat ke laut yang tampak tenang. "Setelah ini kamu naik kapal, Roy." Aisah memasukkan perseneling. "Pergi ke Ambon dan melupakan aku. Atau juga melupakan semua wanita yang kamu jumpai di perjalanan. Dan mungkin di kota yang baru kamu akan melakukan hal yang sama lagi. Aku bagaimana, Roy? Atau wanita yang kamu tinggalkan? Ini bukan bicara soal cinta, tapi soal bagaimana kamu bisa belajar menghargai perasaan wanita," katanya menginjak pedal gas pelan. Mobil meluncur perlahan. Mereka larut dalam kebisuan. Orang-orang yang hendak meneruskan perjalanan ke Ambon dan terus ke Sorong sudah berada di kapal. Beberapa masih berlari-lari menaiki tangga. Wajah mereka tampak puas, karena udara Makasar sudah menyentuh tubuh mereka. Kehangatan kota ini akan terus mereka kenang dalam hidup. "Kamu nggak turun nganter aku, Aisah?" Aisah menggeleng. "Seharusnya kamu jadi kakakku, Aisah." Aisah tersenyum. "Aku nggak bisa memberi pendapat mengenai rencanamu itu. Entahlah, apa yang akan kulakukan jika aku berada pada posisimu. Aku cuma bisa mendoakan, semoga kebahagiaan yang kamu dambakan itu berhasil kamu wujudkan. Kamu ciptakan." Roy mengusap pipi Aisah. Hening, Tinggal sjam lagi. "Good bye, Aisah. I am just a poor lonesome boy." Roy membalik. Dia berusaha menyembunyikan kesepian hatinya. "Roy." Roy berhenti. "Cepat pulang ke rumah. Mamamu menunggu." Roy menoleh. Tepat jam 22.00 kapal berangkat meneruskan perjalanan menuju tujuan akhir, Sorong. Dua hari perjalanan harus ditempuh untuk mencapai kota di kepala burung Irian itu. Jangkar diangkat dan klakson melengking mengusik malam di Ujungpandang. Orang-orang menggeliat melepaskan kepergian kapal mewah itu. Saat lain pun akan datang kapal yang lain. Membawa cerita yang sama. Kapal terus mengikuti malam bersama laut hening dan langit hitam. Menuju kearah matahari terbit. Menyongsong fajar. Si Roy berdiri di dek paling atas. Dia berusaha untuk mendapatkan senyum Aisah. Atau lambaian tangannya. Tapi yang ada cuma lampu-lampu daratan yang bagai seribu lilin. Roy meninggalkan jejak lagi. Balada Si Roy 8 - Episode 10 Kapal V. LABIRIN Kembali pada hidup semula, keasingan juga menyergapku. Lalu di mana membaringkan letih dan perih? Matamu masih teka-teki Jalan-jalan rawan yang dulu kusapa berkelebatan, menggoda. Berkelebatan karena rumah hanya bermakna impian-impian dan wanita? Besok saling melupa. Melupa! Toto ST Radik *** Serombongan berseragam dari akademi kepolisian dengan tertib meniti tangga. Di pelataran dermaga ada nona-nona manis menari. Upacara penyambutan. Satu per satu dari pemuda lulusan akademi kepolisian itu mendapat kalungan bunga dan jabat erat yang hangat. Putra-putra daerah yang akan mengabdi di tanah leluhur. Peristiwa ini menyedot perhatian masyarakat. Ini di dermaga Ambon, kota seribu pulau. Usai lagu Ambon Manise kesibukan terasa lagi. Orang-orang yang menjemput kerabat atau cuma sekadar ingin mengagumi kemegahan kapal ini berseru, bergumam, atau berdecak kagum, Lambaian tangan dan pekik histeris jadi simpang siur dan kabur artinya. Kuli-kuli pelabuhan pun berebut naik mencari rezeki. Roy masih di dek paling atas. Dia malas berdesak-desakkan setelah lelah selama 21 jam terapung-apung di laut. Dia merenung, akankah suatu hari nanti ada yang menjemputku di dermaga? Memelukku saat kepulanganku nanti? Persis tengah hari. Bergeser ke jam dua. Hawanya terik dan bau anyir ikan merebak. Roy menyeret blue ranselnya. Ketika menuju Ambon, pada 14 jam pertama, kapal berhenti di Buton. Jangkar pun dilempar ke laut. Perahu-perahu kecil menyerbu, karena tidak memungkinkan kapal untuk merapat di dermaga. Kira-kira dua ratus meter dari pantai kapal berhenti untuk membongkar muatan. Beberapa penumpang ada yang pulang dan ada juga yang hendak bepergian dengan kapal. Sambil menyusuri jalan benaknya penuh dengan pikiran. Sangat memberati jiwanya. Keragu-raguan tentang masa depan pun muncul. Apa yang harus dilakukan ketika mengetuk pintu rumah nanti? Apakah cuma, "Roy pulang, Ma." Itu saja? Bagaimana tanggapan kawan-kawannya: Spider, Borsalino, Toni, Edi, yang pasti sudah di perguruan tinggi? Apa yang akan dilakukan setelah duduk di sebelah Mama? Bercerita tentang gunung, laut, senja, fajar, dan wanita? Kadangkala suka terlintas, bahwa menjadi seorang lelaki tidak cuma berpetualang. Mengalahkan rasa takut, mengendalikan emosi atau hawa nafsu itu juga seorang lelaki. Mempunyai rasa tanggung jawab terhadap segala tingkah laku juga seorang lelaki. Menjadi lelaki pun tidak mesti menaklukkan wanita. Roy sebetulnya sebuah contoh remaja gelisah dan gagal yang sedang bangkit. Dia punya cita-cita seperti orang-orang. Dia ingin mencari sesuatu yang bisa diberikan pada mamanya. Sesuatu yang bisa dibanggakan. Sesuatu yang bisa diceritakan mamanya pada tetangga, jika sedang membicarakan tentang anak-anaknya. Sekolah memang penting di zaman serba kompetitif dan hedonis ini. Tapi, lihatlah bumi yang maha luas ini! Darinya banyak hal yang langsung bisa dipelajari. Secara perlahan, walaupun tak pernah ada selembar kertas untuk bisa diacung-acungkan pada khalayak. Roy menendang kaleng. Membenci dirinya sendiri. Membenci suara batinnya yang melagu sendu. Tapi, kenapa harus membalik setelah melangkah? Kapal sudah membelah laut, Roy! Menerjang gelombang dan menghalau badai! Bergeraklah! Roy masuk ke warung makan di terminal. Tiba-tiba, "Se pung rokok ka Seng? Kasih dolo! (Kamu punya rokok? Minta, dong!)" kata seorang lelaki terminal kasar sekali. Roy mendelik. Sebelum dia merogoh kantong kemeja kotak-kotaknya, lelaki terminal itu tanpa permisi merogohnya. Roy tidak enak diperlakukan kasar begitu. Dia mencekal lengan lelaki terminal. Sebagai orang yang sedang melakukan perjalanan, sebetulnya dia risih berurusan dengan orang. Mencari musuh, kata orang, memang sangat gampang. Seperti menjentikkan jari saja. "Eh, Se subarani, nih? (Eh, berani, ya!?)" Si Terminal berdiri berang. "Se jang macam-macam! Se tau beta ni siapa? (Jangan macam-macam! Kamu tahu siapa saya?)" Mulutnya bau alkohol murahan. Roy mengatur napasnya. Terminal di mana-mana sama saja. Selalu ada orang yang ingin disebut sang penguasa. Dia membayar makan siangnya yang baru setengah dilahapnya. Katanya mulai mengambil risiko, "Beta tak cari macam-macam. Tapi kalau ose tak sopan begitu, beta tak terima," Roy berdiri. "Kalau mau rokok, mintalah dengan sopan," bungkus rokok yang tinggal beberapa batang itu dilemparkan ke meja. "Labe baek Se Pigi saja kalo Se mo salamat," bisik seseorang menyarankan. Roy mengangguk. Tapi baru beberapa langkah, Si Terminal yang mabuk itu mencekalnya dari belakang. Menarik Roy dan memukul, Roy merasa bibirnya perih. Melawan orang mabuk ada enak dan repotnya. Roy membalas. Dia menedang perut jagoan terminal itu. Si Terminal meringis mundur. Dia membungkuk. Mengambil sebilah pisau yang diselipkan di sepatunya. Roy buru-buru menggunakan ransel birunya sebagai tameng. Beberapa orang berlari mencari petugas keamanan. Beberapa kali belati itu berkelebat mengincar tubuhnya dan Roy berhasil menangkisnya dengan ransel. Tapi ketika Si Terminal itu membabi buta dan nekat menubruk, Roy kewalahan juga. Mereka terjerembab dan bergulingan di aspal. Pada saat terjepit begitu, dua orang polisi datang melerai. Mereka diseret ke kantor polisi "Dari Jawa? Jakarta?" tanya petugas meminta tanda pengenal. Roy sangat kesal sekali. Dia menatap Si Terminal dengan penuh amarah. Berurusan dengan polisi sangat tidak disukainya. Bertele-tele dan bisa menghambat laju perjalanan. Apa boleh buat. Ini untuk pengalamannya, bahwa mengalah adalah lebih penting. Sampai sore ada pertanyaan ini-itu sambil sesekali tertunda oleh urusan lain. Balada Si Roy 8 - Episode 11 Kapal Menjelang senja keputusan pun diketukkan. Alasannya untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, mereka dikurung di sel tahanan secara terpisah. Roy tidak berkata apa-apa, karena setiap perkataannya nanti bisa saja dijadikan alasan baru. Roy kini baru merasakan betapa tidak enaknya dikurung da1am terali besi dan dipersalahkan. Betapa sempit dan pengap. Betapa tertekan dan putus asa. Padahal dunia luar penjara sangat indah dan menggelora untuk dinikmati. Gagal sudah akan menikmati nona Ambon yang manis dan pantai Natsepa dengan a1unan ombak serta nyiur yang melambai. Pintu terali besi dibuka petugas. Makan malam disodorkan. Roy menyantapnya biasa saja. Sebetulnya tidak ada gairah, tapi dia tidak ingin konyol. Bagaimanapun makan adalah sangat penting dalam perjalanan panjang ini. Jatuh sakit malah bisa berabe. Roy meringkuk di sudut ruangan. Matanya sulit untuk dipejamkan. Ketika menggelincir dari tengah malam, seorang petugas membuka pintu sel. Tersenyum ramah dan menyuruhnya bangun. Roy terperanjat juga. Dengan gembira dan tergesa-gesa dia meninggalkan sel. Si petugas mengajaknya ke luar kantor. "Merokok?" tawarnya. Roy mengambil sebatang. "Kami minta maaf, Dik," katanya menyalakan geretan. Roy mengangguk dan menghisap rokoknya. "Orang jahat itu ada di mana-mana, Dik." "Ya, Pak." "Jagoan terminal itu memang sering membuat masalah. Adik termasuk pemberani juga. Tapi, kami harap, Adik tidak salah menilai tentang daerah kami." Roy cuma tersenyum. "Jagoan terminal di mana-mana selalu ada, Dik." Roy mangut-mangut. "Saran kami, kalau Adik tidak keberatan, pergilah sekarang dari sini. Ada perahu ke pulau Seram dari dermaga Tolehu. Nanti kami antar ke sana." Roy menatapnya. "Kami bukannya mengusir. Tapi ini demi keselamatan Adik. Orang itu banyak kawannya dan suka bertingkah aneh-aneh." Roy berpikir keras. "Apalah gunanya mengurusi orang seperti dia, Dik? Mengikuti amarah tidak baik. Bukankah perjalanan Adik sendiri lebih penting ketimbang disebut seorang pemberani cuma karena meladeni orang sinting itu? "Tidak akan ada orang yang mengatakan Adik seorang pengecut. Percayalah," petugas itu menepuk bahunya. Rupanya dia bisa memahami persoalan anak muda, yang selalu bangga dipanggil si pemberani ketimbang pengecut. Roy menjatuhkan rokoknya yang masih panjang. Menginjaknya hingga lumat dengan tanah. Katanya pelan, "Kalau itu yang terbaik, tidak apa. Kebetulan saya mau terus menyeberang ke Irian." "Pulau Seram malah sangat mengasyikkan, Dik. Alamnya masih perawan." "Khabarnya ada suku terasing di sana, Pak?" "Ya. Suku Nowaulu, namanya. Kalau Adik akan menyusuri Seram sampai ke ujung paling timur, ke pulau atol, Geser, pasti akan melewati daerah suku terasing itu." "Ya, saya akan menyusuri Seram. " "Dari pulau Geser ada perahu kayu atau kapal perintis yang melaut ke Fakfak, Irian, Untuk mencapai ke Geser, kalau Adik beruntung mendapat tumpangan, paling-paling seminggu sampai." "Kalaupun tidak ada tumpangan, Pak, saya akan berjalan kaki ke sana." "Bapak percaya itu." Sebuah mobil bak terbuka mengangkut Roy ke dermaga Tolehu. Mobil itu melaju ke langit timur di paling timur. Warna kemerah-merahan mulai merebak. Fajar, memang, terasa cepat di sini. Seperti juga hidup itu sendiri atau kejadian di sekeliling yang tidak akan pernah diketahui awal atau akhirnya. Balada Si Roy 8 - Episode 12 Kapal VI. FAHRUL aku duduk di batang pohon yang tumbang, di saat senja di pantai di Pulau Seram memandang ke seberang laut: ombak dan senja perahu dan bocah nelayan aku duduk di pantai di sebatang pohon yang telah tumbang angan-anganku tenggelam bersama senja Heri H Harris *** Kabut tipis yang ibarat kapas mengapung di permukaan laut. Menguap. Dari dermaga tampak ikan-ikan berenang, meliuk-liuk di sela-sela kayu yang terpancang. Ikan, memang, kekayaan alam yang tidak terhingga di pulau ini. Di mana-mana orang dengan mudah memancing ikan. Beberapa kapal kayu tertambat di dermaga. Perahu-perahu terapung-apung baru datang dari menangkap ikan semalaman. Kesibukan para nelayan terasa sekali di sini. Orang-orang yang hendak menyeberang ke Amahai, dermaga di Kecamatan Maluku Tengah, Seram, sudah berduyun-duyun naik ke perahu kayu. Seorang remaja gondrong berlari-lari ke loket. Membeli karcis. Dari Tolehu ke Amahai harus merogoh kocek tiga ribu rupiah. Untung masih tersedia beberapa menit. Dia melompat ke perahu. Penumpang berjejalan. Luber. Perahu kecil dari kayu ini tersendat-sendat dan oleng dipermainkan ombak. Membuat ciut nyalinya. Makanya tidaklah heran kalau kita sering membaca di koran, bahwa ada kapal kayu atau perahu motor tenggelam dan sekian orang tewas, karena cuma transportasi jenis inilah yang paling murah dijangkau masyarakat. zTiba-tiba matanya terpicing. Dia melihat seorang lelaki berdiri disisi kiri kapal. Memakai jaket hijau. Tangan kanannya buntung sampai ke pangkal bahu. Cuma tersisa serpihan daging saja di ujungnya. Supaya lengan jaket kanannya yang kosong tidak melambai-lambai tertiup angin, dengan cerdik dimasukkan ke kantong depan celananya. Kalau diperhatikan sepintas seperti tidak invalid. "Hey!" seru Roy. Lelaki itu menoleh. Roy tersenyum dan melambaikan tangannya. Dia bangkit. Dengan terhuyung-huyung dan berpegangan menghampiri lelaki buntung itu. "Halo! " katanya berdiri di samping si Buntung. Si Buntung menatapnya dengan tajam. "Roy, nama saya!" Dia mangut-mangut. "Fahrul," katanya tersenyum dipaksakan. Roy mengulurkan lengan kanannya. Fahrul tidak membalas. Tiba-tiba Roy tersenyum menyodorkan lengan kirinya. Fahrul meringis.. Dia tidak menyangka ada orang yang melakukan ini padanya. Selama ini dia selalu merasa tersinggung jika ada orang yang memperhatikannya. Dia selalu merasa kecacatannyalah yang jadi objek. Dia memang sensitif sekali. Tapi remaja gondrong ini dengan konyol melakukan itu semua. "Bagaimana bagusnya?" Roy dengan lucu bergantian menyodorkan lengan yang kiri dan yang kanannya. "Saya kira yang kiri lebih bagus. Nggak canggung. Tapi, lupakan sajalah," katanya kemudian sambil menarik lengannya. "Jangan salah paham, Bang. Saya cuma ingin bersahabat." Fahrul melihat ke gelombang. Dengan malas dia mengulurkan lengan kirinya. Roy langsung menjabat erat-erat. Sangat menyenangkan mendapatkan kawan seperjalanan. Apalagi di atas perahu. Kalau pada awalnya Fahrul tampak segan, kini dia jadi banyak bicara. Fahrul bercerita tentang dirinya. Dua tahun yang lalu, di sebuah kota kecil di Sulawesi Selatan, dia mengalarni kecelakaan lalu-lintas. Dia harus rela kehilangan lengan kanannya. Satu bulan mendekam di rumah sakit dan dia kehilangan sega-lagalanya; keriangan dan kawan-kawan sekolahnya. Terlebih-lebih gadis pujaannya. "Saya frustasi," katanya tersenyum hambar. Menurutnya, tinggal di kota kecil dan menjadi seorang cacat sangatlah berat. Serba salah. Lebih banyak dikucilkan ketimbang ditemani. Daripada tertekan dan jadi duri di dalam keluarga, dia memutuskan untuk pergi ke mana saja angin bertiup membawanya. "Hampir setengah tahun saya mengembara. Tak tentu arah." Setelah kecelakaan yang tidak adil itu, begitu katanya, rasa percaya dirinya sirna. Gairah hidupnya musnah. Yang ada cuma rasa putus asa. Kalau saja dia diberi kesempatan memilih waktu kecelakaan itu, tentu mati adalah yang terbaik. Mengembara tanpa arah dan tujuan inilah, dia merasa tenteram. Merasa terlena dan larut dalam samudera keputusasaannya. Dia sangat (merasa) menikmatinya. "Saya sudah tidak bisa mengenali diri saya lagi," katanya membuang putung rokok ke laut. Dia meminta rokok yang baru pada Roy. Mengisap lagi dengan kuat. Kegelisahan dan kegetiran hidupnya melayang ke angkasa bersama asap rokok. "Saya sudah jadi layangan putus. Tak tahu akan tersangkut di mana," lara suaranya. Roy menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu terlalu sensitif," katanya hati-hati. Fahrul melirik tajam. "Sebetulnya yang menciptakan jarak itu bukan siapa-siapa, tapi diri kita sendiri. Lantas terbentuklah gap psikologis itu, yang memang susah untuk dibetulkan." "Jika ada orang yang melihat atau memperhatikan, kamu merasa kecacatanmu jadi objek penderitaan. Begitu, kan? Ada yang tertawa, itu pasti sedang menggunjingkan kamu. Selalu negatif thingking. "Sorry, saya kok ngasih ceramah. Tapi, saya juga punya sahabat cacat seperti kamu." Perahu bergoyang-goyang. Laut betul-betul bergolak. Beberapa penumpang kewalahan. Mereka mabuk laut. Orangtua pun kewalahan meredakan tangis anak-anaknya. Perjalanan yang tidak menyenangkan. "Saya rasa selalu hidup berpikiran positif adalah yang terbaik." Fahrul diam saja. Balada Si Roy 8 - Episode 13 Kapal "Saya bisa mengerti perasaan kamu. Jadi orang cacat memang tidak ada enaknya. Tak ada yang membela kecuali dirinya sendiri." Dan Roy tanpa sungkan-sungkan bercerita tentang penyandang cacat yang sukses dan "ajaib" apabila dihadapkan pada tantangan. Tidak tergantung pada belas kasihan dan dimanjakan. Sederet nama mulai dari Napoleon Bonaparte sampai Ramona Purba disebutkan. Kesuksesan yang mempertaruhkan keringat, waktu, dan harga diri. Kegigihan dari detik ke detik. Tiba-tiba Fahrul mengeluarkan pisau lipat dari saku jaket. "Saya terlalu banyak bicara, ya?" Roy terkesiap. Fahrul menimang-nimang pisau lipat itu. Wajahnya tampak tegang. Seperti sedang berpikir keras. Puntung rokoknya dijentikkan ke laut. Terapung-apung dipermainkan ombak. Hatinya juga tampak begitu. "Sorry, saya terlalu mencampuri persoalan kamu," Roy berusaha menenangkan suasana. Fahrul masih memegangi pisau lipat itu. "Sampai sejauh itu?" Fahrul menggeleng pelan. "Cuma buat ngancem saja, Roy," katanya serak. Dia mengeluh. "Saya betul-betul malu sama kamu." Pisau lipat itu dimasukkan lagi ke saku. Empat jam perahu naik-turun mengikuti gelombang di laut Banda yang jauh dari polusi. Ibarat kanak-kanak yang mendapat mainan, para penumpang bersorak begitu daratan Seram hampir terjangkau. Setelah laut, daratan memang pilihan selanjutnya. Seperti halnya para musafir yang mendambakan oase di padang pasir . "Mata hati saya jadi terbuka, Roy. Selama ini saya buta terhadap sekeliling. Seminggu terakhir ini saya memang sedang kebingungan. Sedang berusaha mencari jalan keluarnya. Pemecahannya. "Apa yang harus saya lakukan kemudian, untuk masa depan nanti? Padahal hidup ini betul-betul nyata. Ada di hadapan mata. Tadinya, Roy, kalau saja hidup ini mimpi, hidup yang saya jalani, saya pasti akan cepat-cepat bangun. "Tapi nyatanya, hidup yang saya jalani ini bukan mimpi. "Nyata adanya. "Saya harus mau menerima menjalani sisa hidup menjadi seorang lelaki cacat. Siapa pernah menyangka akan jadi begini ya, Roy?" Roy tersenyum saja. Dia melompat mengambil ransel birunya, Dermaga Amahai menyambut mereka. Perahu kayu merapat dan udara daratan menampar-nampar. Membuat jiwa kita lapang. "Saya mau terus ke Masohi, Roy!" Fahrul melompat ke dermaga yang disusun dari papan. Masohi adalah ibu kota Maluku Tengah. Kira-kira empat kilometer ke utara dari dermaga. "Ada yang ngajak kerja di sana. Jadi pelayan rumah makan!" Dia tertawa. Tambahnya, selama dalam pengembaraannya ini, dia makan jika ada yang memberi makan. Atau sesekali ada yang mempekerjakannya sebagai pembersih lantai di restoran dan tukang parkir. "Saya mau terus ke Pulau Geser. Dari sana menyeberang ke Irian!" "Wow, mengasyikkan!" "Hidup ini indah jika dinikmati tanpa beban!" Roy bersorak. "Boleh tanya sesuatu, Roy?" "Dengan senang hati?" "Tentang wanita," katanya malu-malu. "Ya? Ada apa dengan wanita? Kamu tentu lebih berpengalaman dari saya. Umurmu dua puluh tahun. Kamu tentu punya dua tahun yang istimewa ketimbang saya." "Itu dua tahun ketika saya masih normal, Roy." "Apa bedanya?" "Bedanya, sekarang saya buntung." Roy baru mengerti pertanyaan Fahrul. "Maksud kamu, apa bakal ada wanita yang naksir sama kamu yang sekarang cacat? Begitu, ya? Buset kamu! Kok, pesimis begitu?" "Di Jawa cara berpikir kaum wanitanya tentu lebih maju ketimbang di Sulawesi, dan Maluku. Maksud saya, mereka lebih gampang bisa menerima dan memahami persoalan orang cacat." "Saya cuma tahu satu hal saja tentang wanita. Ini kata Mama saya, bahwa wanita itu pada dasarnya ingin dilindungi." "Ah, lupakan tentang wanita!" Fahrul mengibaskan lengannya. Roy tertawa meninju bahunya. "Kita berpisah di sini?" "Sampai jumpa!" Roy memeluknya. "Saya banyak belajar dari kamu tentang arti hidup. Bahwa menjadi seorang yang tersisih dan kalah itu tidak enak. Saya tidak ingin seperti itu. Saya berusaha untuk tidak seperti itu." Fahrul membalas rangkulannya. "Saya juga belajar arti hidup dari kamu, Roy. Semangatmu. Rasa optimismu." Senyumnya mengembang. "Sekarang saya tidak usah berurusan dengan pisau lipat lagi." Tawanya terdengar. Roy menyambut gembira omongannya. "Selamat jalan, Roy!" Fahrul melambaikan tangannya. Roy memandangi punggung Fahrul. Betapa kurus dan menderitanya tubuh itu. Tapi, beberapa saat tadi Roy sudah melihat seberkas sinar yang menggelora pada sorot mata Fahrul. Kini Roy menyandang ransel birunya lagi. Berjalan ke tempat matahari terbit. Menyongsong hari-harinya yang lain. Balada Si Roy 8 - Episode 14 Kapal VII.TOLONG masih tentang perjalanan! sebab sebelum sampai pada langkah yang penghabisan ia terus melagu di batinku dan aku tak bisa mengelakkannya maka biarlah aku kembali berlari meski beribu keentahan di depanku jalan ini memang tak pernah selesai, tak selesai-selesai! Toto ST. Radik *** Sebuah warung kecil taripa dinding. Cuma disangga tiang-tiang bambu dan berada di pinggir jalan. Atapnya dari rumbia. Ada meja dan dua bangku panjang. Di atas meja berdesakan bakul nasi, baskom berisi sayur, ikan kuah, daging, dan piring-piring dengan tempe, tahu, serta ikan goreng. Ada dua orang berseragam hitam dan seorang remaja gondrong sedang mengisi perut. Angin dari laut berembus sepoi-sepoi, membuat pesta makan mereka menyenangkan. Setelah meneguk minumnya, remaja gondrong itu mengambil sesuatu dari kantong luar ransel birunya. Dia membuka-buka peta. Masohi, ibu kota Maluku Tengah, terletak agak ke utara, batinnya. Fahrul, kawan barunya di atas perahu, sudah berangkat ke sana. Dia meneliti garis merah yang meliuk-liuk di selatan Pulau Seram. Di dalam peta jika ada garis merah, itu pertanda ada jalan. "Cuma di sini kenyataannya tidak begitu, Nak," kata seorang berseragam hijau, yang memelihara kumis. Tambahnya, "Jalan beraspal ke arah timur cuma beberapa kilometer saja. Setelah itu cuma pengerasan tanah, jalan setapak, dan kabarnya beberapa kilometer kemudian cuma bisa ditempuh dengan perahu motor . "Jika kamu beruntung, Nak, ikutlah dengan para lnelayan yang akan melaut di setiap kampung yang dilewati. Kalau tidak, cuma ada dua pilihan. Kembali ke Ambon atau jalan kaki menyusuri pantai untuk terus ke Pulau Geser. " "Cari-cari sengsara saja." Bapak petugas yang lsatu lagi tertawa keras. "Bisa mati Ose kalau nekat pigi ke sana!" Roy merenungkan omongan kedua bapak petugas tadi. Beberapa orang juga berbicara seperti itu. Cuma ada sebuah truk bertutup terpal sebagai atapnya, diberi beberapa bangku panjang, melayani trayek Amahai - Sepa, sepanjang lima kilometer. Ada dua buah truk yang berangkat pada pagi dan sore secara bersamaan dari Amahai dan Sepa. Cuma sekali pemberangkatan saja. Jika ada penduduk yang hendak bepergian ke atau dari kedua kota tersebut berarti harus hati-hati, karena kalau terlambat harus menunggu pemberangkatan berikutnya. Tapi Roy sudah tidak punya pilihan lain kecuali: berangkat. Aku manusia pergi, batinnya lirih. Aku seperti ditakdirkan lahir untuk bepergian terus. Tak akan pernah kerasan berada di suatu tempat. Sekarang aku berada di sebuah kampung kecil di Pulau Seram. Sedangkan Mama, saudara, dan kawan-kawanku masih saja meringkuk di tempatnya semula. Di tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan. Di tempat dia mendapat mimpi-mimpi. Baginya pepatah dunia tidak selebar daun kelor atau dunia ini sangatlah luas, jadi tidak berarti lagi. Dengan arus informasi atau globalisasi seperti sekarang ini, dunia baginya sangatlah kecil. Ya, buat lelaki pejalan seperti dirinya dunia seperti perjalanan matahari saja. Awalnya adalah fajar di timur dan berakhir di langit barat, senja. Ransel birunya sudah nemplok lagi di punggung. Dia mulai melangkah, walaupun sebetulnya dia merasa lelah segala-galanya. Mental dan fisik. Dia merasa tubuhnya seperti barang rongsokan saja. Tapi dia sangat terhibur dengan suasana alam di sini. Sangat mengasyikkan. Jalan aspal yang mutunya rendah ini persis di bibir pantai dan hutan. Suara ombak berdebur lembut, berkejaran dengan suara burung yang merdu di pohon-pohon. Tak ada polusi udara seperti yang melanda kota besar di Jawa. Rumah-rumah penduduk setengah bata dan setengah lagi dari gaba-gaba (dahan pohon sagu) berceceran di pesisir pantai. Hutan di sini sulit untuk dimanfaatkan penduduk, karena masih perawan. Paling-paling mereka pergi ke sana jika membutuhkan kayu bakar atau mengolah pohon sagu saja. Jika Roy melewati sebuah rumah, penghuninya pasti keluar dan menyuruh untuk mampir. Roy cuma tersenyum saja dan berjalan terus. Ketika melewati sebuah sekolah dasar, beberapa muridnya berlarian merubung. Bocah-bocah itu memegangi lengan Roy dan berteriak-teriak gembira. bocah itu menguntit terus. Ada sebuah sungai melintas. Jalan pun terpotong. Dibutuhkan uang banyak untuk membangun sebuah jembatan. Pantas kendaraan bermotor belum melintas di sini. Kondisi alam yang masih perawan belum diminati oleh pengusaha swasta untuk menanamkan modal di sektor transportasi. Perahu jadi alternatif lain di sini. Agak ke hulu airnya cukup bening dan ada lekukan yang membentuk danau. Penduduk di sekitarnya memanfaatkan anugerah alam ini untuk kegiatan sehari-hari. Mandi dan mencuci. Atau juga untuk rekreasi ala kadarnya. Bocah-bocah itu mengajak Roy untuk mandi. Mereka sudah membuka pakaiannya dan tanpa malu-malu mandi telanjang. Tubuh-tubuh hitam telanjang itu memanjati pohon. Seperti tarzan di TV, mereka berteriak terjun ke danau. Beberapa saat muncul lagi ke permukaan sambil menyembur-nyemburkan air dengan tangan. Inilah hiburan mereka, karena tak ada sesuatu seperti video game atau keajaiban di Dunia Fantasi Ancol. Buat mereka alam adalah sang Bunda. Yang melahirkan, membesarkan, dan tempat bermanja-manja. Tempat mengadu jika pilu dan bersuka jika dapat anugerah. Beberapa bocah mendekati Roy. Menyiramnya dengan air, Roy membuka baju juga. Mungkin akan terasa segar jika mandi di danau, pikirnya. Dia memang merasa panas sekali. Tanpa pikir panjang dia terjun ke danau. menyelam dan bermain air bersama mereka. Penduduk setempat yang sedang mencuci tersenyum ramah pada Roy sebagai bahasa tuan rumah yang gembira menyambut tamu. Sudah hampir jam lima sore. Matahari hampir menggelincir. Bumi mulai temaram. Roy merasa kepalanya pening. Dia naik ke daratan. Jalannya limbung. Tubuhnya tiba-tiba panas-dingin. Mungkin dia tidak pernah berpikir, bahwa jika suhu badan sedang panas tidak baik langsung mandi. Menurunkan suhu badan beberapa saat dulu itu jalan yang terbaik. Bocah-bocah pun berlarian ke darat. Tanpa diduga, Roy roboh ke tanah! *** Balada Si Roy 8 - Episode 15 Kapal Suara azan magrib membangunkan remaja gondrong itu. Dia meraba keningnya. Melihat sekeliling. Merasakan tempat tidurnya yang terbuat dari papan dan cuma dialasi tikar. Rumah berdinding setengah bata dan setengah gaba-gaba. Dia merasa kedinginan sekali. Selimut tebal pun dirapatkannya lagi sampai menutupi leher. Dari balik cahaya lampu tempel yang remang-remang, Roy melihat sebuah bayangan masuk ke dalam kamar. Bocah yang tadi mengajaknya mandi di danau. Segelas teh panas disodorkan padanya. Roy mencoba mengangkat kepalanya. Dia bersender pada dinding. Berusaha tersenyum. Diraihnya gelas itu. Diteguknya pelan-pelan. Hawa panas terasa merembesi tubuhnya. "Saya di mana, Nyong? Di rumah ose?" Roy memberikan gelas. Si bocah mengangguk senang. Dia meletakkan gelas di meja. "Beta punya ransel di mana, Nyong?" Bocah itu berjalan ke sudut karnar. Di pinggir lemari ransel biru Roy tergeletak. Bocah itu menepuk-nepuknya. Roy tampak menarik napas lega. "Makasih," kata Roy tulus. "Sini, Nyong," Roy menyuruhnya mendekat. "Yang membawa beta, kakak, ke sini siapa, Nyong?" "Beta gotong ramai-ramai." Bocah itu tertawa. Roy tersenyum dan tertawa kecil, "Pasti berat, ya?" Bocah itu mengangguk. "Nama kamu siapa?" "Roji, Kak." "Nama kakak 'Roy'." Roji memanggil kedua orangtuanya. Rupanya ayah Roji adalah Bapak Raja (sebutan kepala desa di sini). Roy bangkit dan duduk, di sisi pembanngan. "Istirahatlah dulu, Nak," kata Bapak Raja. Mata Roy berkaca-kaca. Dia merasakan betapa tulusnya pertolongan yang mereka berikan padanya. Dia tahu ini dari Tuhan. Manusia cuma perantara saja. Dia semakin yakin, bahwa Tuhan ada di mana-mana. Selalu menyertai setiap langkah manusia. Sebetulnya dalam kejadian tadi, jatuh pingsan di tempat asing, Tuhan bisa berbuat sekehendak hati. Kini Roy semakin percaya, bahwa jika berbuat satu kebaikan, seribu kebaikan pasti akan datang. Dalam keadaan terjepit seperti ini, biasanya kita selalu melibat ke belakang. Ke perjalanan hidup kita yang sudah terjadi. Banyak orang yang dia sayangi dan menyayanginya, dia tinggalkan di rumah. Terlebih-lebih Mama! Mama, haruskah aku pulang sekarang? Kegelapan semakin jatuh. Jubah-jubahnya memeluk wajah kampung. Lampu-lampu tempel pun mulai dipadamkan. Gelap yang betul-betul hitam. Tak ada yang bisa diraba. Semua bersembunyi di balik selimut. Cuma suara binatang malam bersahut-sahutan dengan deburan ombak. Keesokan harinya Roy sudah bangkit dari tempat tidur. Ditemani Roji, Roy berjalan-jalan di pantai. Beberapa bocah ikut berlarian di pantai. Mereka mandi dengan gembira. Roy cuma duduk saja di pasir. Memandang ke lautan lepas. Dari jauh tampak sebuah benda merayap bagai siput. Itu kapal laut yang membawa harapan bagi orang-orang di atasnya. Harapan membawa ke pulau impian. Roy merenungkan semua yang ada di sini. Pulau Seram sepi. Sebuah pulau yang belum terjamah arus modernisasi. Tak ada gebyar apa-apa di sini. Sangat jauh ketinggalan dengan kampung kecil di Jawa sekalipun! Apa sebetulnya yang ada di benak bocah-bocah ini? Seringkah mereka bermimpi tentang Jakarta atau Ambon yang terdekat? Masa kanak-kanak bagi semua orang, di mana saja, adalah bermain. Masa kanak-kanak adalah mimpi-mimpi. Mereka akan mengalir bersama lingkungannya. Kalau saja anak-anak kota melihat kehidupan di sini, apakah air liur mereka akan terbit? Kolam renang akankah ada artinya dibandingkan dengan danau, sungai, dan laut? Suara lagu dari kaset lebih merdukah dengan kicau burung di pepohonan? Roy pulang lebih dulu. Di teras rumah dia melihat Mariyah, nona manis putri pertama Bapak Raja. Dia sekolah di kelas dua SMA di Masohi. Di akhir pekan dia pulang menghabiskan waktu bersama ayah, ibu, dan Roji. Mariyah sedang membaca novel Nick Carter. "Apa yang menarik dari novel itu?" Roy mengerutkan kening. Baginya novel ini ibarat sampah. Sewaktu di SMP, biasanya setelah kawan-kawannya memberi lipatan pada beberapa halaman buku, dia akan membacanya. Tapi sekarang, cuma jadi kenangan manis saja. Dia tidak menyangka kalau ada gadis manis di kota kecil yang jauh dari hiruk-pikuk kota menjamah novel murahan itu. "Kirim dong novel-novel yang bagus ke sini nanti," Mariyah malu-malu menutup novel picisan itu. Roy mengiyakan. Bapak dan Ibu Raja muncul dari pintu. Mereka ikut duduk di teras. Seorang pembantu menyuguhkan teh manis dengan sagu kering yang keras bagai batu. Agar tidak keras, sagu itu dicelupkan dulu ke dalam teh panas. Inilah sarapan pagi kebiasaan mereka. "Lepas tengah hari, saya melanjutkan perjalanan lagi," kata Roy sambil tidak lupa mengucapkan terima kasih untuk yang entah keberapa kali. "Nanti kemalaman di jalan, Nak Roy. Setelah kampung ini, tak ada lagi kampung dan kendaraan. Kecuali Kampung Rohua, tempat suku terasing Nowaulu itu. Mungkin sekitar lima kilometer dari sini," kata Bapak Raja. "Saya akan jalan pelan-pelan, Pak." "Kenapa harus buru-buru?" "Kalau terlalu lama, saya khawatir tidak ingin pergi dari sini, Pak." Roy tersenyum. "Bisa kerasan saya di sini. Alamnya indah dan tenang sekali." Bapak dan Ibu Raja terkekeh-kekeh. "Hati-hati, Nak Roy, jangan terbawa oleh nafsu," nasehat Ibu Raja. "Karena musuh yang paling utama adalah hawa nafsu, dan itu ada di dalam diri kamu sendiri, Nak Roy." Roy mengangguk dan jadi teringat Mama. Pada saat Roy menyandang ransel lagi, Roji dan bocah kampung lainnya mengiringi sampai ke batas kampung. Setelah melewati batas kampung, Roy menyalami mereka satu per satu. "Kakakku titip salam. Dia minta dikirimi novel," Roji memeluk Roy. Roy mengangguk dan menjambak rambutnya dengan haru. Matahari sudah di atas kepala lagi. Membakar permukaan bumi dan menyebarkan hawa panas. Roy sendirian lagi merasakan itu. Menyusuri pantai selatan Pulau Seram terus ke ujung timur, Pulau Geser. Dari pulau itu kabarnya ada kapal kayu atau perintis menuju Fakfak, Irian. Roy terus berjalan. Kakinya terbenam sampai sebetis di pasir yang lembut. Matahari terus memanggang tubuhnya. Keringat dan jejaknya tertinggal dan berceceran. Dia berusaha untuk tidak menengok lagi. Balada Si Roy 8 - Episode 16 Kapal VIII. NOWAULU lepas dari keseharian kumasuki sisi hidup yang lain pada mulanya sempat meragu aku tetapi kesadaran tentang jalan yang tak mesti selalu lempang mengantarku sampai pada pengertian bahwa pencarian setiap orang senantiasa dalam warna berbeda Toto ST. Radik *** Roy melepaskan ranselnya. Keringat keluar dari pori-porinya. Dia menuju tempat yang teduh. Merebahkan tubuhnya. Napasnya turun-naik, berkejaran dengan debur ombak. Dia memejamkan matanya. Angin bertiup lembut melenakan Roy merasa sudah tidak kuat lagi melakukan perjalanan ini. Jika dia berjalan di pantai, walaupun memperpendek jarak, matahari langsung memanggangnya. Jika ingin terlindung dari sengatan matahari, dia harus masuk sedikit ke hutan dan menerobos pepohonan atau menyeberangi sungai. Roy mengangkat kepalanya. Melihat ke sekeliling. Dia mendengar ada suara memanggilnya. Rupanya seseorang di pucuk pohon kelapa. Beberapa kelapa dijatuhkan ke pasir. Orang itu meluncur turun. "Haus?" Orang tua bertopi lebar dan memegang parang seperti Pattimura itu mengambil sebuah kelapa. Mengupasnya. Melubangi puncaknya. Roy girang sekali. "Tak boleh banyak-banyak minum, Nyong." Orang tua berparang itu menyodorkan kelapa. "Kalau ose sedang capek, terlalu banyak minum air kelapa bisa bikin malaria," tambah orang tua itu. "Jika suhu badan tinggi sebaiknya mengaso dulu, jangan langsung minum. Ka1au hal-hal sepele ini dilanggar, dada bisa panas, sesak, dan batuk-batuk berdahak." Roy meminum air kelapa pelan-pelan. Tidak banyak. Lalu kelapa dikupas. Roy memakan isinya dengan lahap. Lumayan untuk mengganjal rasa lapar. Dalam sekejap batok kelapa itu tandas. "Mo lagi ?" Orang itu itu membelah kelapa yang lain. Roy tertawa mengiyakan. "Mo pigi mana, Nyong?" "Ke Irian, Pak." "Wah, itu jauh sekali." Roy tersenyum. Orang tua itu menceritakan, jika beruntung suka ada Johnson (perahu yang ditempeli mesin merek Johnson) yang mengangkut barang dagangan dari kampung ke kampung. Kita bisa ikut menumpang. "Suku terasing Nowaulu masih jauh, Pak?" "Dua jam perjalanan Nyong pasti sampai. Nanti di batas kampung ada penjaganya. Mereka, lelaki dewasanya, memakai ikat kepala berwarna merah. Jadi Nyong bisa mengenali mereka. "Jika bertamu ke sana, berlakulah sebagai tamu. Jangan melakukan hal-hal yang bertentangan sebagaimana layaknya tamu. Di sana berlaku pepatah tamu adalah raja." Roy manggut-mangut. "Pergilah. Kemalaman di jalan kurang baik." "Bapak tinggal di mana?" "Di atas bukit di dalam hutan." "Bapak tinggal dengan siapa?" "Sendirian." "Apa kerja Bapak?" "Bapak cuma salah seorang dari sekian juta rakyat Indonesia yang ikut berjuang di zaman revolusi fisik dulu, Nyong." Senyumnya mengembang. "Kenapa tidak tinggal di kota?" "Sudahlah, Bapak bahagia tinggal di sini. Yang penting kemerdekaan sudah dirasakan oleh semua orang. Pembangunan sedang gencar digiatkan. "Kabarnya di kota-kota besar hidupnya semrawut, ya?" "Banyak polusi di kota, Pak!" Roy tertawa dan bangkit. Dia hendak menyusuri Pulau Seram lagi. "Hati-bati, Nyong. Kendalikan emosimu." Roy tersenyum. Dia melangkahkan kaki lagi. Terus ke timur banyak sekali pohon pala di bibir hutan. Pantesan dulu VOC bernafsu sekali menjajah bumi Pertiwi, karena rempah-rempah melimpah ruah. Ada sebuah sungai menghadang Roy membopong ransel birunya di atas kepala. Dia berjalan hati-hati di tempat yang dangkal, setelah dia mengukur kedalamannya dengan kayu. Air sungai sampai ke batas lututnya. Lepas tengah hari. Roy menuju pantai lagi. Matahari ada di belakangnya. Kakinya terbenam di pasir yang lembut sampai sebetis. Jalannya jadi lambat dan terseok-seok. Ransel di punggung terasa bertambah dua kali lipat beratnya. Ada sehuah pohon yang rindang. Roy merangkak ke sana. Dia merasa kepalanya berkunang-kunang. Dia rebah. Memejamkan matanya. Dia berandai-andai, kalau saja ada kapal melempar jangkar! Kalau saja ada bis patas ber-AC! Kalau saja ada es buah dan makanan lezat! Oh, perutnyapun menagih jatah! Dengan malas dia membongkar ranselnya. Mengeluarkan peralatan masaknya; nesting dan parafin. Persediaan airnya dituangkan. Dia merebus mie. Ketika sedang asyik menunggu mie matang, ada dua orang bertelanjang dada dan kepalanya diikat kain merah mengagetkannya. Suku Nowaulu, batinnya. "Katong pi ke Bapak Raja (Kita pergi ke Kepala Desa)," kata yang berbadan tegap. Mereka langsung membereskan peralatan masak Roy. Api parafin dipadamkan dengan pasir. Mie rebus yang sedang mendidih dibuang. Roy tidak bisa mencegah, karena kalau menolak ajakan mereka, itu sama saja merusak tradisi yang sudah turun-temurun. Dia teringat pepatah tamu adalah raja. Yang agak kecil menjinjing ransel Roy. Mereka mengajak Roy ke kampung. Walaupun tindak-tanduk mereka kasar, tapi senyum selalu mengembang. Mereka menyusuri jalan setapak, menerobos alang-alang yang tinggi, melompati pohon-pohon yang tumbang, dan sampailah di bibir kampung Rohua. Balada Si Roy 8 - Episode 17 Kapal Ini kampung suku terasing Nowaulu, tapi tidak ada gambaran seperti suku terasing Baduy di Banten Selatan, misalnya. Di sini sedang menuju ke kemajuan. Berkembang. Rumah-rumah yang berjejer rapi bagai perumnas; setengah tembok, gaba-gaba, dan beratapkan seng. Malah yang mengherankan, mesjid dan gereja berdampingan. Mereka membawanya ke sebuah rumah yang paling besar dan tampak asli. Semuanya dari gaba-gaba dan beratap rumbia. Di ruang tamu berlantai tanah ada bangku lebar seperti bale-bale. Seorang Yaunate Akarua, kepala suku, menyambut mereka dengan senyuman. Komisi Soumori, nama kepala suku itu. Bisa berbahasa Indonesia meski patah-patah seperti turis di Bali. Dari ceritanya Roy jadi tahu, bahwa Nowaulu berasal dari Nowa (air) dan ului (hulu). Suku ini di masa lampau tinggal di hulu sungai. Tapi sejak 1960-an, berkat anjuran Pemda, mereka turun gunung dan tinggal beranak pinak di pesisir. Dari tahun ke tahun mereka mulai bisa berkomunikasi dan menyesuaikan diri dengan peradaban. "Nowaulu sekarang jauh berbeda," kata Yaunate Akarua. Rasanya sulit untuk mempertahankan tradisi lama pada zaman era serba cepat ini. Ketika tempat sudah tidak ada batasnya lagi. Ada istilah terpisah ruang dan waktu lagi. Di alam Baduy yang masih perawan, pemuda-pemudinya sudah berani sembunyi-sembunyi dibidik kamera wartawan dengan imbalan uang. Perkakas modern sudah merambah di setiap rumah-rumah mereka. Ini adalah ulah para petualang, misionaris, dan mahasiswa yang sedang praktek lapangan. Tak ada yang bisa disalahkan. Roy juga melihat perubahan-perubahan itu pada keluarga kepala suku. Anak sulungnya ada yang memeluk Islam, toh kepala suku tidak berkeberatan. Dia bahkan menghadiahinya sebuah mesjid. "Dong su memperoleh jalan dari Tuhan (Dia sudah memperoleh jalan dari Tuhan)," kata beliau bijak. Untuk mengabadikan suasana dan kenang-kenangan, Roy meminta anak kepala suku termuda untuk dipotret. Si bandel meminta dia mengenakan baju tradisional lengkap dengan peralatan perangnya. Sebaliknya dia ngotot ingin dipotret memakai blue jeans yang sudah merembes ke sini. Akhirnya jalan pintas pun diambil. Anak bontot ini menggulung jeansnya selutut dan menutupinya dengan selembar kain merah yang biasanya diikatkan di kepala. Padahal untuk mendapatkan kain merah itu harus melalui persyaratan berat. Di bawah bimbingan seorang namorette, panglima perang, lelaki Nowaulu yang sudah dewasadilatih bermain tombak, memanah, dan bertempur. Mereka sangat diharapkan dapat menggantikan yang tua-tua dan menjaga keamanan kampung dari marabahaya. Lalu segelas teh panas dan beberapa tutupola, sagu kering, dihidangkan di meja. Roy mencoba memakan tutupola itu, kerasnya seperti batu. Kepala suku terkekeh-kekeh melihatnya. Beliau mengambil sepotong dan mencelupkannya ke dalam teh. Menggigit ujungnya yang kini agak lembek. Roy mengikutinya. Dia mulai bisa mengunyahnya sedikit-sedikit. Dia mengulanginya lagi. Dua potong tutupola dihabiskan dan rasa lapar pun berkurang. Usai jamuan ala kadarnya itu, Roy dipersilakan untuk melintasi kampung. Sebetulnya ingin sekali dia istirahat lebih lama, tapi kesempatan untuk itu tidak ada. Untung mereka membawanya ke pantai di mana ada perahu motor sedang membetulkan mesin. Mereka berteriak-teriak. Roy disuruhnya untuk ikut. Roy girang bukan kepalang. Dia membuka celana pendek dan kausnya. Ransel dibopong oleh si bontot anak kepala suku di kepalanya. Karena kondisi pantai yang berbatu, perahu motor tidak bisa merapat ke pantai. Perahu motor itu sedang menangkap ikan. Lumayan terbawa beberapa kilometer ke timur. Roy diturunkan di sebuah tempat. Dia mencebur lagi dan membopong ranselnya di kepala. Dia rebah-rebahan di pasir. Pakaiannya yang basah di jemur di batu-batu. Menjelang sore dia merangkak lagi. Tidak ada perkampungan. Ada jalan aspal yang terputus-putus. "Kira-kira sepuluh kilometer lagi ada kampung," kata seorang lelaki yang berpapasan. Dia menuju arah barat. Langit yang tadi seperti memantulkan bara api pelan-pelan berubah warna jadi kelabu dan hitam. Angin hilir mudik. Suara-suara menakutkan muncul dari hutan. Daun-daun dan batang pohon saling beradu. Roy mempercepat langkah. Baginya jika seseorang memberi tahu tentang jarak, selalu dilipat-gandakan. Itulah kebiasaan orang kampung. Kalau mereka bilang dua kilo, itu artinya empat kilo. Kalau dekat berarti lumayan jauh. Angin berembus keras. Gerimis turun. Tiba-tiba di laut kilat menggelepar-gelepar. Bunyinya menakutkan. Disusul hujan deras. Hutan berubah jadi gelap. Roy berlari-larian di kaki hujan. Dia melihat ada sebuah gubuk kecil, lalu berlari ke sana. Hujan semakin menggila. Roy berlindung di gubuk itu. Dia membongkar ranselnya. Mengganti pakaiannya yang basah. Dia berdiri mematung tak tahu harus melakukan apa. Dipandanginya garis-garis hujan sebesar sapu lidi itu. Tetesan dari atap rumbia gubuk yang jatuh ke tanah. Dia sendirian di gubuk di hutan. Hujan terus saja turun semalaman. Dia bersembunyi di sleeping bag. Berteman sepi dan sunyi. Tak ada suara apa-apa selain suara alam semesta. Dia merasa damai dan nyaman. Dia terlelap ditemani dingin yang menggigit. Balada Si Roy 8 - Episode 18 Kapal IX. PULAU ATOL Nyaman di sini, di pantai bersama senja, pohon kelapa, dan ombak biar saja angan-angan toh nanti tenggelam bersama senja nyaman di sini, di pantai bersama perahu, jaring dan ikan biar saja angan-angan toh nanti berganti bersama fajar Heri H. Harris *** Sebuah kapal kayu membuang jangkar kira-kira dua puluh meter dari pantai yang berbatu-batu. Beberapa orang bertelanjang dada mencebur ke laut, berjalan dengan lambat ke kapal. Di atas kapal berkarung-karung beras ditumpuk dan akan diangkut ke daratan. Dua orang naik ke kapal. Yang lainnya siap di bawah. Menyediakan punggungnya. Setiap orang mengangkut sekarung beras ukuran kecil. Mereka berjalan tertatih-tatih keberatan, karena air laut menenggelamkan mereka sebatas selutut. Seorang remaja gondrong menahan tubuhnya agar tidak jatuh ke laut. Karung kecil itu ditahan di pundaknya. Dia menarik napas panjang. Berjalan hati-hati. Sudah dua kali dia mengangkut karung beras ke daratan. Butir-butir keringat bergulir di keningnya. Beberapa orang melewatinya. "Kalau capek berhenti dulu, Nyong," tegur yang memakai topi. Roy tersenyum kecut. Dia kelelahan. Dia menarik napas lega setelah meletakkan karung beras itu pada tumpukannya di depan warung. Dia kembali ke pantai. Mengaso di bawah pohon kelapa. Dia memandang ke laut. Sebuah kapal kayu terapung-apung dengan saudagar Ambon yang mencium lembaran uang di geladaknya. Saudagar Ambon itu membawa sepuluh anak buah kapal untuk melaut di sepanjang garis pantai Pulau Seram. Saudagar itu melayani kebutuhan sandang penduduk. Siapa saja dan di kampung mana saja, kapal itu akan melempar jangkar dan bongkar muatan jika ada yang mengajak berdagang. Saudagar ini pun melayani alat tukar tidak cuma uang, tapi ratusan meter rotan air, atau hasil bumi lainnya dalam jumlah besar. Roy tidak rnau memikirkan siapa yang lebih beruntung atau rugi dalam jual-beli atau barter ini. Toh, dalam hal ini semua saling diuntungkan dan membutuhkan. Si bandel sendiri cuma memberikan tenaga dengan mengangkuti karung-karung besar itu dan imbalannya bisa ikut terus ke timur, ke pulau atol, Geser. Ke pulau di mana ada kapal kayu atau perintis melaut ke Fakfak, Irian. Sudah dua kampung dilayani saudagar kapal ini. Kampung-kampung di pesisir Seram jaraknya berjauhan. Kalau berjalan kadang bisa seharian baru sampai. Untuk terlepas dari masalah ekonomi, kebutuhan sehari-hari yang mendesak, biasanya setiap penduduk yang tinggal di Pulau Besar (mereka rnenyebut Pulau Seram begitu) menggunakan perahu Johnson untuk belanja ke pulau atol, Geser. "Makan dulu, Nyong." Lelaki bertopi itu menyodorkan piring kaleng berisi nasi keras dan ikan laut. Tanpa sayur. Roy melahap jatah makannya. Tubuhnya memang menyusut dan matanya cekung. Betul kata dua orang petugas keamanan di Amahai, bahwa berat sekali jika berjalan kaki untuk terus ke ujung timur Pulau Seram, Pulau Geser. Kadang Roy kemalaman di jalan, belum juga menemukan kampung, sehingga dia tidur di balik sleeping bag di perjalanan; di pantai, di bibir hutan, atau di bangkai perahu. Banyak kejadian yang kalau diingatnya kemudian bisa membuatnya tertawa. Pernah suatu kali di sebuah kampung, malam-malam, dia mengetuki pintu rumah. Tapi tidak satu pun yang membukakan pintu. Tapi di lain kampung dia malah disambut meriah. Bahkan semua warga kampung berkumpul di rumah di mana Roy ditampung. Dan ada satu pengalaman yang sangat berkesan, ketika ia sedang mengaso di pantai. Ada sebuah perahu hendak melaut untuk menangkap ikan. Mereka menghampiri Roy, bertanya ini-itu. "Mau ikut?" seseorang menawarkan. "Cari ikan dulu ya?" tanya Roy. "Ya. Ikut?" Roy mengangguk. Dia melompat ke perahu yang ditempeli mesin motor. Ada sembilan orang lelaki dewasa dan seorang anak kecil. Cukup berdesakan. Perahu melaju sedang-sedang saja. Tidak begitu ke tengah. Kira-kira sepuluh menit ada segerombolan ikan berloncatan. Orang-orang di perahu ribut dan saling memberi pendapat. Ribut tapi diselingi tawa. Perahu diarahkan sejajar dengan gerak ikan. Tiba-tiba perahu memotong dan anak kecil itu melompat ke laut berbarengan dengan ujung jala yang dilempar oleh dua orang. Perahu terus berputar dan jala bergerak cepat mengurung ikan. Semuanya serba cepat dan tergesa-gesa. Jala sudah melingkar. Ikan-ikan terkurung di dalamnya. Anak kecil yang basah kuyup itu sudah naik lagi ke perahu. Orang-orang langsung menarik jala. Perahu bergoyang-goyang. Ikan-ikan pun berjatuhan ke dalam perahu. Berulang-ulang mereka melakukan perburuan ikan sampai terus ke timur. Seharian mereka di laut. Perahu sudah penuh oleh ikan. Laut di sini memang gudangnya ikan. Dari mulut mereka terdengar cerita kecil, bahwa suka ada kapal pencuri dari negeri asing menyusup. Kapal-kapal penyelundup itu menguras habis ikan di laut kita. Padahal nelayan kita dengan perlengkapan ala kadarnya cuma- mengambil ikan secukupnya dari laut mereka. Setelah cukup untuk makan, sisanya mereka jual. Begitu terus dari hari ke hari. Bahkan sudah berpindah dari generasi ke generasi. Tidak terpikir oleh mereka untuk memperoleh hasil lebih dari alam yang melimpah ruah ini. Pemilik modal dari kotalah biasanya yang mengeruk hasil banyak dengan memeras keringat mereka terlebih dahulu. Si Topi ikut mengaso. Dia membawa sebutir kelapa. Mengupasnya dengan parang yang dililitkan di pinggang dan selalu dibawa-bawanya. Setelah melubangi, kelapa muda itu disodorkan pada Roy. "Minumlah, Nyong," katanya tersenyum. Roy meneguknya dengan gembira. "Tadi aku ketemu orang yang baru pulang belanja dari Pulau Geser. Dia memberi kabar bahwa anakku sakit," si Topi berkeluh kesah. "Anaknya sudah berapa, Bang?" " Anakku satu. Umurnya empat tahun." "Mungkin panas." Balada Si Roy 8 - Episode 19 Kapal "Aku sekarang akan terus di darat. Tidak akan ikut saudagar lagi. Mungkin ini saat terakhir aku ikut saudagar. Bosan rasanya ikut dengan orang terus. Jadi orang suruhan. Sekarang modalku sudah cukup. Aku mau buka warung," suara si Topi penuh harapan. Roy berusaha mendukungnya. "Yuk, kapal mau berangkat." Si Topi turun ke laut. Roy meneguk sisa air kelapa sekali lagi. Membuangnya ke semak-semak. Dia berlari kecil mengejar si Topi. "Sekarang aku betul-betul pulang, kepada anak dan istri," katanya pada Roy dengan gembira. Dia memeluknya. "Kapan kamu pulang, Nyong?" Tinggal dua jam perjalanan lagi perahu ini sampai ke Pulau Geser. Bagi si Topi itu berarti pulang dalam arti sesungguhnya; menemui kasih sayang dan kebahagiaan. Tapi bagi Roy itu adalah sebuah awal lain untuk berangkat lagi ke tujuan yang baru. Jangkar sudah diangkat dan mesin motor dinyalakan. Perahu kayu melaju menuju Pulau Geser, sebuah kecamatan Seram Timur, yang cuma karang belaka, yang cuma menghabiskan waktu beberapa jam saja kalau kita mengelilinginya. Matahari senja ada di punggung mereka. Hampir turun. Bulat bagai bola yang terbakar. Indah sekali menikmati senja di atas perahu yang melaju. Tak ada yang menghalangi. Sepertinya matahari itu persis menggantung di depan mata. Mudah untuk diraih. Di ujung depan perahu seseorang duduk dengan santai. Kepalanya diikat kain. Dia memukul-mukul beduk kecil dengan telapak tangannya. Duk duk duk... duk duk duk... pukulannya terdengar magis sekali dalam keheningan laut. Dari mulutnya terdengar nyanyian penuh rindu: Beta berlayar jauh, jauh dari Ambone….. Roy mendengarkan nyanyian rindu itu sambil tidur-tiduran. Kepalanya disenderkan pada sebuah peti kayu. Kelelahan membayang lagi di wajahnya. Seharusnya aku tidak nekat menyusuri Seram. Sebaiknya aku pulang saja ke rumah. Ini sangat menyiksa, nyanyi rindu itu. Terdengar seperti tembang petualang yang rindu akan ja1an pulang. *** Roy duduk di sebatang pohon yang sudah tumbang. Melibat ke laut lepas. Selalu saja dia menikmati senja. Ada perahu kecil mengambang menuju bibir pantai. Mengangkut basil bumi dari Pulau Besar (sebutan lain Pulau Seram). Tiga orang bocah turun ke laut, membantu menarik perahu ke pantai. Mereka tertawa-tawa menurunkan muatan. Sudah serninggu Roy terdampar di Pulau Geser, sebuah pulau atol yang tandus, yang tidak menghasilkan apa-apa selain kota Kecamatan Seram Timur. Kota tempat kegiatan adrninistrasi dan roda ekonomi. Ada kantor pemerintah, bank, rumah sakit, kantor pos dan telekomunikasi, tempat ibadat, pasar, dan dermaga untuk membawa orang-orang ke Fakfak atau Ambon. Penduduk dari Pulau Besar menjual basil bumi atau tangkapan ikannya ke pulau atol ini. Roy dititipkan oleh si Topi di rumah Pak Carik. Dia diterima baik; tidak boleh melakukan suatu pekerjaan apa pun yang bisa membuatnya lelah. Tidak ada yang bisa membuatnya kerasan jika cuma berteman keterpencilan, keterasingan dari informasi, dan kesepian. "Melamun terus, Kak," kata putri Pak Carik yang sulung, yang duduk di tingkat akhir SMP. Si Nona manis ini bilang selepas SMP ingin meneruskan sekolah di Ambon. "Duduk sini," kata Roy tersenyum. Si Nona ikut duduk di batang pohon yang sudah tumbang. "Kamu suka senja, Nona?" Si Nona berpikir sebentar. "Buat orang-orang di sini, fajar, senja, dan purnama bukan lagi suatu keindahan, Kak, tapi bagian dari hidup kita. Kesebarian kita. "Mungkin karena di sini tidak ada hiburan seperti di kota-kota di Jawa." Roy menatapnya. Dia tidak percaya ada gadis SMP bisa berbicara seperti tadi. "Apa yang dilakukan oleh orang kota di saat senja dan purnama, Kak?" si Nona malu-malu bertanya. "Tentunya beragam, Nona. Kalau seniman, pasti dituangkan pada lukisan atau puisi." "Kalau Kakak?" Roy tertawa. "Bikin cerita!" "Nggak pacaran?" Roy tertawa lebih keras. Ada-ada saja pertanyaan si Nona. Si Nona menatap ke laut lepas yang biru jernih. Berbeda dengan laut-laut di pantai Pulau Jawa, yang sudah tercemar limbah pabrik sialan. "Tinggal di Jawa sungguh nikmat ya, Kak? Nona ingin sekali ke Jawa." Sorot mata si Nona seperti berlayar jauh menyeberangi lautan. "Tidak seperti yang Nona bayangkan. Hidup di Jawa, di kota besarnya, tidak ada lagi tata krama. Saling menyapa pun tidak, masing-masing sibuk dengan urusannya. "Hidup di sini nikmat sekali. Bisa mendengar suara burung, angin mendesir, dan hijaunya pepohonan. Kalau di Jawa, udara yang kita hirup setiap hari sudah terkena polusi. Hutannya berubah jadi tembok-tembok raksasa, dan maut setiap saat mengintai kita. " "Tapi hidup di Jawa bisa melihat dunia, Kak," katanya bersikeras. "Lihatlah senja itu, Nona. Itu pertanda kita pun akan ke sana setelah mengisi hari ini. Nona boleh-boleh saja punya tujuan atau cita-cita ingin ke Jawa. Tapi, Nona, janganlah melupakan kampung halaman ini." "Sekarang, apa yang sedang Kakak lakukan?" Roy tersenyum. "Kakak sedang melakukan perjalanan jauh. Sedang melihat-lihat apa isi dunia ini." "Kalau begitu, Nona juga ingin melakukan seperti yang Kakak lakukan. " Roy tertawa, Dia merangkul bahu si Nona. "Besok ada kapal ke Ambon, Kak." Roy mengangguk. "Tidak terus ke Irian?" "Kakak rindu pada rumah. Pada Mama." Nona manis itu tampak kecewa. Senja sudah sudah hilang. Angin malam menampar-nampar. Suasana pulau atol ini langsung lengang. Di satu sudut sebuah pasarnya memang ada keramaian. Orang-orang pergi menonton video di toko-toko kecil. Ibarat bioskop mini. Dengan tiga ratus perak kita bisa menghibur diri dengan film-film Amerika. "Kalau Nona ingin meneruskan sekolah, Ambon memang yang terbaik. Bicarakan baik-baik dengan orangtua Nona. Jadilah wanita seperti Martha Tiahahu nanti." Roy tersenyum menggandeng lengannya. Si Nona mengangguk. Langit bertaburan bintang. Pohon-pohon kelapa ujungnya meliuk-liuk seperti penari balet ditiup angin. Orang-orang ada yang berlindung di rumahnya. Tinggal para nelayan saja yang bergoyang-goyang dengan lampu tempel di atas perahu. Di lautan. Balada Si Roy 8 - Episode 20 Kapal X. MELAUT Malam dari malam yang lain semua bersembunyi di langit hiram mata-mata takut terpejam laut dan langit hendak menelan : Tuhan ternyata ada di sekeliling! Heri H. Harris *** Roy mengemasi barang-barangnya. Blue ranselnya kini menggeliat. Penuh sesak dengan segala macam kejadian. Hatinya sudah bulat, bahwa pengembaraannya akan berakhir di sini. Rindu memang menyiksa dan mengalahkan segalanya. Pulang adalah jalan keluar yang terbaik. "Besok siang jadi ke Ambon, Kak?" Si Nona sudah di pintu kamar. Roy mengangguk. "Tidak terus ke Irian seperti rencana semula?" Roy menggeleng. Katanya merasa seperti bersalah, "Kakak mau menyelesaikan sekolah dulu, Nona. Setelah lulus dari SMA, Kakak pasti akan pergi mengembara lagi melihat dunia." Cahaya bulan yang sepotong masuk ke kamar lewat jendela yang sengaja dibuka. Memantulkan harapan buat mereka. Harapan untuk menjalani hidup dengan dada lapang tanpa beban. Roy menuju jendela. Dia menatap sepotong bulan. Dia merasa cahayanya itu adalah pelita di kegelapan hatinya, yang kini mulai banyak perubahan. Bisiknya, sekarang aku lebih banyak diam dan melihat saja. Padahal umurnya baru lepas dari delapan belas. Selama ini dia merasa sudah terlalu banyak bicara dan mencampuri urusan yang mestinya bukan urusannya. Kadang itu malah berbalik mencelakakannya. Sekarang mungkin lebih bagus diam dan melihat saja. Menjadi "air" ketimbang "api". Malam sudah larut dan keadaan kampung direngkuh kegelapan. Cuma terlihat kerlap-kerlip lampu tempel di dalam rumah penduduk saja. Betapa tenteram. Kalau di Jakarta pada jam yang sama, tak akan bisa menikmati kedamaian. Denyut nadi Jakarta tak pernah berhenti. *** Langit pagi yang cerah menjelang siang berubah hitam. Awan bergerombol dan meronta-ronta. Langit bergolak. Angin menerpa ke segala arah. Gerimis mulai berkejaran. Roy bersama Pak Carik sedang kebingungan di pos polisi. Mereka sudah mengelilingi pulau dan bertanya pada orang-orang perihal si Nona. Sejak pagi tadi si Nona memang menghilang. "Dia kata cuma ke pasar mau beli oleh-oleh buat Nak Roy," Pak Carik gelisah memikirkan putrinya. Roy merasa ikut bersalah. Padanyalah si Nona sering bertanya ini-itu tentang Jawa, Jakarta, dan kota-kota besar lainnya. Ketika dia menanyakan si Nona pada ibunya, katanya dia pergi ke rumah kawannya. Kata adiknya, si Nona ke rumah gurunya. Dan kata bapaknya tadi, si Nona ke pasar untuk beli oleh-oleh. Ke mana gerangan si Nona? Apakah... ? Roy menduga-duga, apakah si Nona yang memimpikan tanah seberang itu bersembunyi di kapal? Roy menceritakan semuanya pada Pak Carik. "Apa mungkin itu terjadi? Dia masih kecil." Pak Carik tidak habis pikir. "Nona sangat pintar, Pak," puji Roy. "Tapi kenapa harus ke Jawa? Itu terlalu jauh." "Nona punya cita-cita yang tinggi." Gerimis semakin besar saja. Kapal kayu bergoyang-goyang di dermaga. Orang-orang berlarian dan naik ke kapal. Mereka sudah tergesa-gesa dan ingin cepat melaut meninggalkan Pulau Geser yang terpencil; ketinggalan dari arus transportasi dan informasi. Orang-orang seperti ingin cepat-cepat melihat peradaban yang lebih gempita di kota besar. Roy berjalan tergesa-gesa di bawah curahan hujan. Dia merapikan ponconya agar melindungi tubuh dan ranselnya dari air. Di sebelahnya Pak Carik cuma memakai topi lebar. Pakaiannya basah kuyup. Wajah orang tua itu tegang dan cemas. Mereka meniti jembatan kayu. Naik ke kapal, yang paling banter cuma lima belas kali lima meter. Pak Carik langsung bertanya kepada siapa saja. perihal putrinya. Dia mencari-cari awak kapal. Panik sekali. Tak ada Jawaban yang memuaskan. "Sebetulnya begitu lulus, dia akan kami sekolahkan di Ambon. Ada oom-nya di sana," Pak Carik ngedumel. Pak Carik masuk ke ruang kemudi. Berbicara kepada nakhoda kapal. Para awak kapal pun dikumpulkan. Ditanyai satu per satu. Tapi semuanya menggeleng dengan cepat. Malah cennderung seperti tidak ingin terlibat dengan masalah ini. "Mana si Salim?" tanya nakhoda pada mereka. Para awak kapal saling pandang. Mereka tiba-tiba jadi bingung dan tegang. Tak ada yang membuka mulut. Dengan kesal nakhoda itu ke luar ruangan. Dia berjalan menyusuri lorong kabin. Roy pun mengekor di belakang Pak Carik yang semakin tegang. "Salim memang brengsek!" nakhoda memaki. Pak Carik melirik Roy. Dadanya bergemuruh. Di depan sebuah pintu, nakhoda menggedor-gedor. "Buka, Salim! Bedebah, Kamu! Bikin malu!" Pintu kabin dibuka pelan-pelan. Salim menyembul dengan wajah ketakutan. Nakhoda menarik Salim ke luar dan mendorong pintu lebih lebar lagi. Di dalam kabin ada seorang gadis manis sedang memeluk tubuhnya. Pakaiannya setengah terbuka. Gadis itu berusaha merapikan. Dia menggigil ketakutan dan terisak-isak. Nakhoda itu dengan geram memukul Salim. Pak Carik masuk ke kabin dan merangkul putrinya. Berusaha melindungi. Roy berubah jadi geram. Dia ikut memukul Salim. Balada Si Roy 8 - Episode 21 Kapal "Kurang ajar! Kamu tega berbuat itu pada gadis kecil?" Roy berusaha memukulnya lagi, tapi ditahan oleh nakhoda. Salim tertunduk dan menggelesor tak berdaya. Pak Carik membimbing putrinya. Ketika dia melihat Salim, kontan dia melepaskan putrinya dan menyerbu pelaut itu. Nakhoda tidak berusaha menghalanginya. Dia merasa maklum kalau Pak Carik berbuat seperti itu. Salim babak-belur dan merintih minta ampun. "Sudah, sudah, Pak," kali ini nakhoda mencegahnya. Dada Pak Carik turun-naik. Dia menyeka wajahnya yang tidak keruan lagi. Lalu berjalan mengejar putrinya yang berlindung di pelukan Roy. Si Nona menangis. "Untung tidak terjadi apa-apa, Pak," kata Roy bernapas lega. "Nona ingin ke kota, Pak," isak si Nona. "Bapakmu akan menyekolahkan kamu ke Ambon," kata Roy. Isak Si Nona kontan berhenti. Pak Carik memeluknya. Dia tampak merasa lega bisa menemukan permata hatinya. Orang tua itu menuntun anak gadisnya turun dari kapal. "Betulkah itu, Pak? Kata Kak Roy, Bapak akan menyekolahkan Nona ke Ambon?" Pak Carik mengangguk. "Kenapa Nona tidak diberitahu, Pak?" "Tadinya Bapak mau memberi kejutan buat Nona." Nona menatap ayahnya. Air matanya meleleh. Dia memeluk dan menciumi pipi ayahnya. "Maafkan Nona, Pak, sudah berbuat lancang," katanya di sela tangisnya. Roy bergetar menyaksikan adegan itu. Seorang ayah dan ibu, betapa kasih sayang mereka tidak ada bandingannya. Matanya terasa hangat. Dia tiba-tiba tersentak. Wajah Mama membayang! Dia ingin sesegera mungkin memeluk Mama; mendapatkan pelukan kasih sayang! Mereka melihat nakhoda menyeret Salim ke pos polisi dermaga. Ya, begitulah pelaut. Selalu wanita, judi, dan alkohol di setiap pelabuhan! Kejadian ini memang sudah setua umur bumi itu sendiri. Janji-janji manis yang ditawarkan pada gadis kampung yang lugu bisa beragam akibatnya. Yang paling klise adalah, setelah direnggut kehormatannya, si gadis akan dicampakkan dan disia-siakan. Dan munculah cerita menyedihkan disetiap tempat prostitusi, cerita tentang gadis-gadis bernasib malang itu. "Terima kasih, Nak Roy." Pak Carik menepuk pundaknya. "Tidak. Sayalah yang harus berterima kasih pada Bapak sekeluarga, " kata Roy, "karena sudah merawat saya selama di sini." Dan si Nona memeluknya. "Beberapa bulan lagi Nona akan ke Ambon. Nanti Nona akan tahu, bahwa ada enaknya dan ada tidak enaknya tinggal di kota itu." Roy mengusap rambutnya. Nona manis itu tersipu-sipu. Klakson kapal berbunyi nyaring. Orang-orang yang berada di pulau atol ini tersentak. Mereka tidak lagi mempedulikan hujan, berkerumun berbasah-basah di dermaga. Mereka seperti tidak rela melepas kepergian kapal motor itu. Kapal bagi mereka adalah sebuah harapan untuk mimpi-mimpi. "Pulang memang yang terbaik, Roy." Pak Carik menyodorkan lengannya. Roy malah merangkulnya. "Selamat jalan, Kak. Nanti kirim kartu pos kota Jakarta, ya," pinta si Nona. Roy mengangguk. "Ombaknya besar sekali." Pak Carik melihat ke laut. Roy tertawa kecut. Klakson kapal berbunyi lagi. Orang-orang yang berkerumun di dermaga semakin gelisah. Mereka seperti berteriak: Bawa, bawalah daku serta ke tanah harapan! "Saya pergi." Roy berlari menerobos hujan. Dia tidak ingin menengok lagi, mendapati kesedihan mereka. Baginya sekarang yang penting adalah melaut untuk pulang. Roy menyibak kerumunan. Meniti jembatan kecil menuju kapal. Dia masuk ke dek yang cuma satu lantai. Tak ada kabin buat penumpang. Semua berdesak-desakan di lantai. Barang-barang ditumpuk. Sebagian penumpang sudah berbaring kelelahan mirip ikan sarden. Kapal membunyikan teriakannya lagi. Suaranya membelah pulau yang kesepian itu. Meneriakkan kata perpisahan pada mereka. Penduduk pulau pun melambaikan tangannya pada orang-orang di kapal. Pada siapa saja. Mungkin pada mimpi-mimpi mereka yang terapung-apung di laut.